Pages

Jumat, 27 Desember 2013

CORAK TEO – ANTROPOSENTRISME DALAM STRUKTUR MAJELIS ISLAM KESULTANAN

CORAK TEO – ANTROPOSENTRISME DALAM STRUKTUR MAJELIS ISLAM KESULTANAN

Teo Antroposentrisme pada awal tahun 90-an pernah menjadi wacana teologi yang sangat laris dibahas oleh beberapa cendekiawan Islam dunia. Tentu saja, itu terinspirasi dari paradigma yang diretas oleh pakar Islam dari Mesir, Hassan Hanafi. Menurut Hanafi, wahyu merupakan kehendak Tuhan berupa perkataan yang diturunkan kepada manusia, yang meliputi manusia secara keseluruhan. Teologi, karenanya, harus dilihat sebagai sebuah antropologi. Teologi merupakan ilmu kemanusiaan yang merefleksikan konflik-konflik sosial politik, bukan ilmu ketuhanan an sich. Teologi sebagai hermeneutik bukanlah ilmu suci, melainkan ilmu sosial yang tersusun secara kemanusiaan. Jadi, bagi Hanafi, adalah hal mendesak untuk mengubah paradigma teologi klasik dari yang awalnya berorientasi pada teosentrisme —di mana Tuhan menjadi fokus perhatian— menuju paradigma antroposentrisme, dengan menjadikan manusia sebagai pusat perhatiannya. Dengan pernyataan ini, Hanafi bermaksud merekomendasikan sebuah model teologi atau ilmu kalam baru yang antroposentris, populis dan transformatif.
Apa yang menjadi gagasan Hanafi ini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru dalam tradisi keislaman, Hanafi hanya mencoba membangkitkan kembali suatu energi terpendam dari paradigma keislaman lama melalui metodologi kritik dan hermeneutik, agar Islam menjadi tidak gagap menghadapi arus industrialisasi dan modernisme yang mengepung bangsa-bangsa Islam. Adalah Kesultanan Bima misalnya, pada abad permulaan Islam dikembangkan sebagai pilihan ideologi Kerajaannya, juga telah menerapkan sebuah praksis keber-agama-an dalam berbagai implementasi konstitutsinya. Sehingga bisa dikatakan bahwa proses pribumisasi Islam yang pernah ditawarkan oleh Gus Dur misalnya, justru pernah berhasil diterapkan dalam kesultanan Bima.

Pribumisasi Islam adalah upaya untuk membangun sinergitas kebudayaan lokal setempat dengan nilai-nilai universal ajaran Al Qur’an dan Hadits, hal itu dapat dilakukan melalui integrasi dan adaptasi ajaran-ajaran Islam dalam tradisi adat-istiadat masyarakat. Ini merupakan konsep dakwah Qur’ani yang selalu dititikberatkan oleh para mubalig awal nusantara dalam membangun konstruksi kesepahaman teologis dengan penduduk asli.

Bagi masyarakat Bima sendiri, pengaruh Islam dan Arab dalam kebudayaan Bima masih terasa cukup kuat dan berkembang di tengah masyarakat, dan boleh dikata bahwa masyarakat Bima kuno telah mengalami beberapa kali adopsi dan adaptasi kebudayaan sehingga wajar saja kalau masyarakat Bima hari ini tidak memiliki kebudayaan yang asli. Hal itu disebabkan lebih karena proses dakwah dan pribumisasi Islam oleh para mubalig pada abad ke 15 benar-benar diterima dengan baik, dan mampu menggeser paradigma keyakinan lama pada pilihan teologi mutlak bercorak Islam.

Cobalah perhatikan dalam struktur Majelis Islam Kesultanan Bima, sebuah corak teo-antroposentrisme Islam memberi pengaruh cukup dominan dalam membuat nomenklatur ranah-ranah ‘birokrasi’ Majelisnya. Majelis agama islam atau majelis syar’iyyah dipimpin oleh seorang qadi atau imam. Majelis beranggota 4 orang khatib dan bantu oleh 17 orang LebeNae. Keempat khatib itu ialahKhatib TuaKhatib KarotoKhatib LawiliKhatib To’i.

Pembatasan empat Khatib ini terinspirasi dari beberapa landasan berikut ini :

Khulafaurrasyidin; Dalam tradisi Fitua masyarakat Bima, pemuliaan terhadap empat sahabat Nabi adalah salah satu lelaku spiritual yang sangat penting. Abubakar Shidiq merupakan simbolisasi tokoh tua (Tua)yang mengayomi sahabat-sahabat lainnya. Lalu Umar bin Khattab sebagai seorang sahabat yang tegas dan lugas dalam berbicara (Karoto), Utsman bin Affan sebagai seorang sahabat yang lemah lembut dan memiliki kehalusan tutur kata (Lawili), dan Ali bin Abi Thalib sebagai seorang anak muda brilian yang sangat disegani kecendekiawanannya (To’i).

Mujtahid Mutlak; Dalam tradisi Fiqh, empat tokoh generasi tabi’it tabi’in yakni Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Imam Maliki dan Imam Ahmad adalah mujtahid mutlak yang menjadi sumber referensi penafsiran hukum-hukum dalam Al Qur’an dan Hadits.

Poros Kedirian; Ilmu Fitua masyarakat Bima mengenal empat titik sentral yang menjadi poros kekuatan komunikasi manusia dengan Tuhannya, meskipun semua titik dalam tubuh manusia telah dinisbatkan pada penguasaan spiritual ilahiyyah. Hal ini kemudian muncul dalam metodologi dzikir yang sudah akrab dalam pembelajaran Fitua. Keempat poros itu ialah Otak (Tuta), Hati (Ade; Lawili), Tenggorokan (Karoto) dan Badan (Sarumbu). Keempat poros ini dalam penamaan Islam kita kenal dengan istilah; Aql’, Qalb’, Wariddan Jism’. Ada usaha dari beberapa perancang struktur Majelis Islam Kesultanan ini untuk mengintegrasikan kekuatan-kekuatan spiritual Ilahiyyah dalam model kerja sama struktural kelembagaannya. Sehingga Qadhi’ atau Imam sebagai Pemimpin Spiritual tertinggi kerajaan Bima adalah pemangku dan pengemban rahasia ilahiyyah yang telah mapan dan berpengalaman dalam semua ilmu Islam, Qadhi’ inilah yang juga memiliki ilmu ladunni untuk membuka kasyful hijab, karena mengetahui rahasia-rahasia (Syir) tertentu bagi Kesultanan.

Menjadi kian jelas, bahwa apa yang menjadi dasar pemikiran beberapa Ulama Bima di masa lampau adalah hasil dari permenungan spiritual yang khusus untuk menentukan struktur kelembagaan Kerajaan Bima. Pengukuhan dan pengangkatan salah satu Khatib dalam Kesultanan Bima adalah hasil musyawarah Qadhi’ beserta para khatib yang lain, dan Sultan tidak berhak melakukan intervensi dalam penentuan ini, karena ranah spiritual menjadi otorita penuh dari majelis Islam. Tradisi pengangkatan Khatib pun tidak seperti penunjukan jabatan hadat kerajaan lainnya yang cenderung melakukan pendekatan monarki mutlak berdasarkan garis keturunan. Pengganti seorang Khatib dalam Majelis Islam Kesultanan tidak harus keturunan langsung Khatib sebelumnya, begitu pula Qadhi’ atau Imam Kerajaan, bukanlah jabatan turun temurun yang diwariskan. Pendekatan yang diterapkan dalam Majelis Islam ini hampir sepenuhnya mengacu pada petunjuk-petunjuk spiritual khusus.

Dalam perkembangan selanjutnya sesudah kemerdekaan RI, Majelis agama Islam ini berubah menjadi MahkamatusSyar’iyyah yang di pimpin oleh seorang imam kerajaan yang dibantu oleh seorang Penghulu dan Lebe Dalam (Lebe Dala),bersama majelis hadat turut berperang aktif dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Dan pada tahun 1969 berubah menjadi Yayasan Islam yang kantornya sekarang berada di sebelah barat Masjid Sultan Muhammad Salahuddin.
Nah, jika Hassan Hanafi mengajukan tawaran rekonstruksi metodologis terhadap bangunan teologi Islam tradisional dibangun dengan cara membalikkan secara total struktur epistemologi kalam klasik: dari yang awalnya menyoal Tuhan, ditransformasikan menjadi pembahasan tentang kemanusiaan; dari persoalan langit ke persoalan bumi; dari idealitas ke realitas; dari teori ke tindakan; dari membela Tuhan ke membela insan; dari teosentrisme ke antroposentrisme; dari teologi ke antropologi; dan, dari Akidah ke Revolusi. Maka Kesultanan Bima menerapkan itu secara praksis dan implementatif dalam suatu lembaga spiritual yang terbuka dan antropologis. Dan itu dilakukan oleh para Ulama Bima tidak hanya dalam ranah kerajaan, tetapi juga dalam tradisi sosial sehari-hari.


MAJELIS SYAR’IYYAH ISLAMIYYAH AD-DAULAH BIMAWIYYAH

  1. Imam/Qadhi'
  2. Khatib Tua
  3. Khatib Karoto
  4. Khatib Lawili
  5. Khatib To’i
  6. Lebe Talabiu
  7. Lebe Sila
  8. Lebe Wawo
  9. Lebe Ngali
  10. Lebe Wera
  11. Lebe Sakura
  12. Lebe Samili
  13. Lebe Rabakeli
  14. Lebe Teke
  15. Lebe Dena
  16. Lebe Sumi
  17. Lebe Parado
  18. Lebe Karumbu
  19. Anangguru Ngaji
  20. Anangguru Ngaji Sampela
  21. Bilal/Robo

0 komentar:

Posting Komentar